Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mengapa Disiplin Positif Perlu Dilaksanakan oleh Guru, Murid dan Semua Warga Sekolah?

 

Amilia Rahma Sania, S.Pd

SMPN 2 Sumenep

Ki Hajar Dewantara sebagai Bapak Pendidikan Indonesia mempunyai semboyan kepemimpinan yang sangat fenomenal ‘ing ngarsa sung tuladha,’ di depan, seorang pendidik harus memberi teladan atau contoh tindakan yang baik, ‘ing madya mangun karsa’ di tengah atau di antara murid, guru harus menciptakan inisiatif atau semangat dan tut wuri handayani’ yang artinya dari belakang, seorang guru harus bisa memberikan dorongan dan arahan. Semboyan ini menunjukkan bahwa sebagai guru yang ideal harus menjadi manusia yang utuh dahulu sebelum mampu menuntun muridnya menuju tujuan pendidikan yang diinginkan oleh Ki Hajar Dewantara yaitu “menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi- tingginya.”  Begitu pentingnya peran guru pada muridnya sebagai penuntun untuk mencapai kebahagiaan dan keselamatan murid, sehingga yang menjadi pertanyaan penting berikutnya adalah, apa yang harus dilakukan guru agar murid mampu meraih tujuan besar tersebut? Jawabannya adalah guru harus mampu mendorong murid agar mengeluarkan usaha optimalnya agar menjadi insan yang diharapkan oleh keluarga dan bangsa.

Usaha ini tentu telah terencanakan dengan baik oleh guru dan semua warga sekolah dalam prakarsa perubahan yang dipilih dalam setiap periode waktu tertentu. Prakarsa perubahan ini dijabarkan dengan detil sehingga menjadi aksi guru dan semua warga sekolah untuk mewujudkan mimpi/visi sekolah. Apakah nanti aksi ini akan berhasil membawa perubahan dan mampu mewujudkan mimpi yang diharapkan semua warga sekolah tentunya harus dijaga dengan hati-hati. Terkadang sebuah mimpi atau tujuan yang diharapkan tidak akan terwujud atau gagal terwujud karena perilaku murid atau warga sekolah yang tidak sesuai dengan harapan, misalnya: murid yang malas belajar, membuat visi sekolah yang menginginkan semua murid unggul dalam prestasi menjadi tidak terwujud, atau sebaliknya guru yang tak pernah masuk ke kelas untuk mengajar, membuat visi sekolah yang menginginkan imtaq murid kuat menjadi susah terealisasikan. Oleh karena itu diperlukan penegakan disiplin positif di sekolah.

Disiplin positif ini adalah bentuk rasa tanggung jawab dan disiplin yang kuat yang didorong untuk tumbuh dari dalam diri anak bukan karena hadiah atau penghargaan untuk menerapkan nilai-nilai kebajikan universal dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mengatur disiplin positif ini agar terus tumbuh perlu adanya kesepakatan atau keyakinan bersama agar selalu melaksanakannya. Kesepakatan ini mengatur apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan demi kebaikan bersama. Manfaat penerapan disiplin positif ini akan mengembangkan rasa mandiri dan tanggung jawab pada murid serta menumbuhkan rasa percaya diri mereka bahwa mampu mengendalikan dirinya dengan baik. Sebagai guru, disiplin positif ini bukan bertujuan mendidik murid yang hanya takut saat diawasi, murid yang pasif juga rendah diri dan tak berani menerima resiko dan tanggung jawab.

Dalam menegakkan disiplin sekolah, ada lima posisi kontrol guru; sebagai penghukum, pembuat merasa bersalah, teman, pemantau, dan manajer. Posisi kontrol guru yang terbaik adalah posisi seorang manajer. Di dalam posisi ini, sikap guru ketika melihat siswa melakukan kesalahan tidak langsung menghukum atau menasehati, tapi diawali dengan sikap memahami tindakan siswa bahwa ketika siswa bersalah itu biasa karena memang setiap manusia pasti pernah bersalah 

Guru berperan sangat besar menumbuhkan disiplin positif ini pada murid, tentunya sebelum menerapkan hal itu guru harus mampu membuka diri agar ikhlas saat memberi pujian dengan tulus saat murid melakukan kebaikan, jika memberi cinta akan berbalas cinta. Tak kalah pentingnya harus juga mampu menasihati dengan kalimat yang bijak, mengenal karakter murid dengan baik, memahami kondisi murid serta kebutuhan dasarnya. Anak yang terpenuhi kebutuhan dasarnya dengan baik akan mampu belajar dan menghadapi hidupnya dengan baik. Seperti kata Najeela Shihab,”Disiplin diri anak dimulai dari hubungan yang kuat dan rasa percaya yang dalam.”

Kebutuhan dasar murid yang harus dipenuhi sebagai manusia adalah kebutuhan bertahan hidup, kasih sayang dan rasa diterima (kebutuhan untuk diterima) penguasaan (kebutuhan pengakuan atas kemampuan), kebebasan (kebutuhan akan pilihan), kesenangan (kebutuhan untuk merasa senang). Jika salah satu atau lebih dari kebutuhan itu tak terpenuhi maka murid tak akan mampu belajar dengan mudah dan menyenangkan. Sebagai guru harus paham akan hal itu.

Dalam penerapan disiplin ada hal-hal yang perlu diperhatikan selain kebutuhan dasar tersebut di atas, guru saat mendampingi murid bukan hanya saat dia sukses tetapi saat dia dalam keadaan terpuruk, menunjukkan sikap konsisten dan tegas saat berinteraksi. Mampu menunjukkan pada murid bahwa dia salah jika mengalami kegagalan dalam melaksanakan disiplin positif, dengan intonasi tegas, tak menggurui tetapi dengan tanpa kebencian. Melakukan komunikasi dengan baik serta saling menghargai.Dalam disiplin positif, pujian yang tepat menjadi alat disiplin yang baik karena memberikan pengalaman belajar.”

Cara yang tepat saat menemui murid yang melakukan kesalahan adalah melakukan segitiga retitusi, menurut buku Catatan Penggerak Merdeka Belajar oleh Milaini, dkk (2023: 54). adalah proses menciptakan kondisi bagi murid untuk memperbaiki kesalahannya sehingga karakter mereka lebih kuat ketika kembali pada kelompoknya yaitu: menstabilkan identitas (Stabilize the Identity). Menstabilkan identitas merupakan sisi dasar dari segitiga restitusi, memvalidasi tindakan yang salah (Validate the Mistake), dan menanyakan keyakinan (Seek the Belief). Hal itu juga dikuatkan oleh Rancangan segitiga Restotusi yang dibuat  oleh  Diane Gossen dalam bukunya Restitution; Restructuring School Discipline, (2001)

Berikut ini salah satu contoh kasus, cara melakukan segitiga restitusi antara seorang wali kelas dan muridnya yang bernama Adzka Vira.

Adzka Vira membeli kue di kantin sekolah pada pelajaran matematika dengan alasan lapar. Tidak sengaja, wali kelas melihatnya di kantin saat makan kue. Saat ditanya baik-baik, dia marah dan tak terima. Menjawab dengan nada marah dan ekspresinya yang kelihatan jengkel sekali. Wali kelas mengajaknya ke ruang guru yang kebetulan berdekatan dengan kantin. Saking marahnya, Adzka Vira membuang makanannya dan dia menuduh gurunya yang telah membuat dia melempar makanannya. Setelah duduk di kursi, sang guru memegang tangannya dengan lembut. Menatap matanya dengan penuh kasih dan berkata dengan tenang. Guru sedang berperan sebagai posisi manager.

“Nak, coba tenangkan dulu dirimu.” Setelah agak tenang, guru menstabilkan identitas.

“Ibu tahu bahwa kamu lapar, betulkah?”

Dia mengangguk pelan dan mulai menatap penuh penyesalan, “Apakah kamu belum sarapan anakku?”

Dia terdiam sebentar kemudian mengangguk.

“Apakah keluar saat pelajaran itu baik dan adil bagi guru yang sedang mengajar?”(Validasi kesalahan)

“Tidak baik, Bu.”

“Apakah kamu sudah menyadari kesalahanmu?”

“Ya, Bu.”

“Apa yang seharusnya kamu lakukan?”

“Seharusnya saya sarapan pagi di rumah, atau membawa bekal dari rumah kalau tak sempat sarapan, atau bisa membeli makanan sebelum bel masuk berbunyi.”

Guru mengangguk dan tersenyum padanya.

“Baguslah kalau kamu sudah tahu apa yang seharusnya kamu lakukan. Kira-kira keyakinan kelas apakah yang tidak kamu lakukan dengan baik, Nak?”

“Disiplin di dalam kelas dan aktif belajar.”

Guru mengangguk dengan lega.

“Saya akan meminta maaf pada guru yang mengajar di kelas, Bu.”

“Kemudian makananmu bagaimana?”

“Biarlah, Ibu. Itu memang salah saya.”

Guru mengganti uangnya karena kasihan hitung-hitung sebagai rasa sayang padanya, karena sebagai pemenuhan kebutuhannya akan kasih sayang dan cinta.

Kasus restitusi di atas merupakan upaya dalam menangani murid yang tidak disiplin dengan cara positif. Hal ini dikarenakan proses penggalian informasi dan juga cara dalam menangani kasus yang terjadi lebih humanis. Dengan pendekatan restitusi maka siswa atau anak kita tidak merasa tersakiti hatinya dan dijudge secara mental. Namun lebih kepada tumbuhnya rasa nilai kebajikan yang ada dalam keyakinan murid menjadi kuat dan menyentuh dari hati nuraninya dalam berdiskusi mencari solusi.

Perlu dipahami dalam proses ini murid yang melanggar peraturan sedang mencari perhatian dan ingin memenuhi kebutuhan dasarnya. Nah jika guru hanya menyalahkan murid, maka dia merasa kurang berhasil. Komunikasi yang membangun reflektif dan rasa paham ke dalam diri murid dan akan menumbuhkan keyakinan dengan pertanyaan yang membawa ke logika nalar mereka menjadi jembatan bahwa mereka memiliki keyakinan akan berhasil untuk diri mereka. Guru dapat menggunakan kalimat,  “Berbuat salah itu tidak apa-apa,  tidak ada manusia yang sempurna, saya juga pernah melakukan kesalahan seperti itu,  Kita bisa menyelesaikan ini semua.” Kalimat-kalimat tersebut dapat menjadi menenangkan dan murid akan merasa kooperatif. Diharapkan murid akan tenang diajak memahami konsep dirinya dan fokusnya berpindah bukan di ‘permasalahannya’ namun lebih pada kesadaran diri untuk berbuat dan berubah menjadi lebih baik.

Langkah kedua adalah Validasi Tindakan yang Salah (Validate the Mistake) merujuk bahwa tindakan kita dilakukan dengan suatu tujuan, yaitu memenuhi kebutuhan dasar manusia. Menurut Teori Kontrol semua tindakan manusia, baik atau buruk, pasti memiliki tujuan tertentu. Saat seorang anak berguling sambil berteriak menangis di supermarket, kita mungkin jengkel, tapi dia sedang memenuhi kebutuhannya akan cinta kalau kita memerhatikannya. Kalimat-kalimat berikut dapat mengantarkan ke kondisi yang akan memvalidasi kebutuhan mereka. "Padahal kamu bisa melakukan yang lebih buruk dari ini ya?". "Kamu pasti punya alasan mengapa melakukan hal itu'.  "Kamu boleh mempertahankan sikap itu, tapi kamu harus menambahkan sikap yang baru."  Dengan suasana yang lebih akrab penuh persahabatan dan pengertian, anak akan merasa dimengerti dan mudah menggunakan logikanya. Diharapkan akan tumbuh nilai-nilai keyakinan yang ada dalam dirinya.

 

Langkah berikutnya adalah  Menanyakan Keyakinan (Seek the Belief). Teori kontrol menyatakan bahwa kita pada dasarnya termotivasi secara internal. Saat kedua tahapan awal telah dilaksanakan, maka murid akan siap untuk dihubungkan dengan nilai-nilai yang dia percaya, dan berpindah menjadi orang yang dia inginkan. Dengan kata lain rasa percaya murid akan terkoneksi dengan baik.  Pertanyaan-pertanyaan yang dapat menghubungkan keyakinan anak dengan keyakinan kelas, sekolah, lingkungan atau keluarga adalah seperti, "Apa yang kita percaya sebagai kelas atau keluarga?". "Apa nilai-nilai umum yang kita telah sepakati?" "Apa bayangan kita tentang kelas yang ideal". " Kamu mau jadi orang yang seperti apa" 

 

 Penting untuk menanyakan ke murid, apakah mereka ingin sukses, mandiri dan bertanggung jawab? Murid tentu akan menjawab "Iya," Tapi mereka tidak tahu bagaimana caranya menjadi orang seperti itu. Guru dapat membantu dengan bertanya, seperti apa jika mereka menjadi orang seperti itu. ketika murid sudah mendapat gambaran yang jelas tentang orang seperti apa yang mereka inginkan, guru dapat membantu murid tetap fokus pada gambaran tersebut dan meraihnya. Tentunya, dengan melibatkan banyak sisi juga seperti wali kelas, guru BK, wali murid dan atau orang tuanya ketika memang kejadiannya ada di lingkungan sekitar.

 

Dari paparan tentang apa itu Segitiga Restitusi dengan langkah 3 yang terstruktur yaitu menstabilkan Identitas, Memvalidasi tindakan salah dan menanyakan keyakinan. Hubungan harmonis antara siswa dan guru, anak dan orang tua akan semakin bagus ikatannya. Selain itu murid atau anak akan semakin paham siapa dia dan apa yang diyakininya untuk menjadi berhasil terbaik menurut versinya. Lebih jauh akan terwujud cita cita kita semua, murid yang tangguh mampu mandiri, kreatif, bertanggung jawab akan dirinya, keluarganya serta bangsa dan negaranya. Ini tugas kita bersama mewujudkannya. Tidak ada yang mustahil jika kita mau mencoba dari sekarang. Selalu optimis bahwa budaya positif akan menjadi jalan tercapainya mimpi sekolah serta mimpi semua anak bangsa Indonesia. Maju dan mampu berdiri kokoh sejajar dengan bangsa maju lainnya di dunia.

“Seseorang yang menolak memperbarui cara-cara kerjanya yang tidak lagi menghasilkan, berlaku seperti orang yang terus memeras jerami untuk mendapatkan santan.” – Buya Hamka

 

 

 

TENTANG PENULIS

Description: C:\Users\Administrator\Downloads\WhatsApp Image 2024-04-18 at 16.29.44.jpeg

Amilia Rahma Sania biasa dipanggil dengan  Mila, sekarang mengabdikan ilmu  di SMPN 2 Sumenep.

Menjadi Guru Bahagia adalah  buku pertama yang dicetak sebagai buku kisah perjalanan mengajar lebih dari satu dekade, menyusul kemudian beberapa novel offline seperti Sekeping Hati Wonder Women atau novel online yang bekerjasama dengan beberapa platform seperti Ceriaca, Novelme dan lain  sebagainya. Penulis yang suka sekali mendongeng, puisi  dan berkhayal.

Sebagai ibu dua orang anak laki-laki, masih sempat berburu buku untuk memuaskan hobi membaca yang mendarah daging. Suka mencari ilmu dan mengembangkannya.

Essay ini dipersembahkan untuk semua insan di manapun berada agar mencintai semua makhluk Allah dan tak suka menyakiti. Alamat di Jalan Raya Gapura no 19 Paberasan Sumenep. No WA 085232718918 E-mail: milarahma78@gmail.com /amiliasania31@guru.smp.belajar.id

 

 

 

 

 

Posting Komentar untuk "Mengapa Disiplin Positif Perlu Dilaksanakan oleh Guru, Murid dan Semua Warga Sekolah?"